Gambar

Cerita Sederhana tentang “Ayah” oleh Andrea Hirata

Novel Ayah terpaku kaku di salah satu sudut rak buku saya. Hampir setengah tahun lebih saya tak mengutak-atik posisinya sejak pertama kali buku itu berpindah tangan dari togamas. Sudah menjadi kebiasaan bahwa buku yang saya beli tidak langsung saya baca. Kadangkala ada beberapa buku yang kemudian hanya menjadi pajangan daripada bacaan. Lebih karena waktu untuk membaca tak lagi leluasa seperti dahulu. Seringkali untuk memulai membaca harus dipicu dengan kondisi mental yang luar biasa. Maksud saya adalah menunggu momen yang tepat atau ketika keresahan dan kegelisahan menyatu yang lalu mencari sebuah pelarian dalam sebuah buku. Dan akhirnya waktu itu tiba untuk mulai membaca karya terakhir Andrea Hirata sejauh ini.

Alasan saya membeli dan membaca Novel ini adalah karena nama besar Andrea Hirata. Meski jujur beberapa buku sebelumnya saya tak selesai membacanya (Laskar Pelangi hingga Cinta di Dalam Gelas). Mengenai Tetralogi laskar pelangi karena sudah terbias dengan layar lebarnya sedangkan yang lain memang tidak ada minat untuk membacanya. Entah untuk Novel Ayah ini seperti ada sesuatu yang menarik saya untuk membacanya. Maka mulailah saya untuk membaca roman ini.

Biasanya ada sedikit mengenai garis cerita di sampul belakang sebuah Novel. Di Novel ini tidak ADA! Sampul belakang hanya berisi pujian-pujian atas karya Andrea Hirata yang paling fenomenal “Laskar Pelangi”. Jadi saya berekspetasi ini adalah sebuah kisah tentang seorang anak dan Ayahnya. Dan itu memang benar. Yang membedakan hanyalah cara Andrea Hirata meramunya dengan latar belakang yang mungkin paling dia pahami yakni tanah kelahirannya, Belitong.

Novel ini berkisah tentang seorang Laki Laki yang cinta mati kepada seorang perempuan yang setengah mati menolaknya. Sebuah kisah mengenai seorang laki laki yang sangat penuh kesabaran mencintai istri dan anaknya, meski sang istri mungkin tidak mencintainya. Sebuah kisah mengenai persahabatan antar manusia. Sebuah kisah mengenai rasa cinta dan kagum seorang anak pada Ayahnya. Sebuah kisah cinta yang mungkin tidak berakhir sempurna. Sebuah kisah tentang kehidupan dan kematian. Sebuah awal dan akhir. Sebuah cerita tentang kegetiran. Terdengar klise, mungkin.

Novel ini bukan novel sekali duduk bagi saya. Butuh waktu hingga 2 minggu untuk menyelesaikannya (Biasanya ketika saya anggap tak menarik, saya tidak selesai membaca hingga akhir). Kesederhanaan cerita membuat saya terus melahap halaman demi halaman, bab demi bab, hingga selesai. Saya suka dengan penggambaran Belitong dari 80an hingga 90an, begitu juga dengan ranah Melayu Sumatra. Belum lagi guyonan guyonan kocak dari sahabat sahabat sang Tokoh Utama.  Dan yang mungkin menjengkelkan ketika penulisnya menjelaskan terlalu bertele-tele dan berbelit belit yang terkadang membuat saya capai untuk membaca tapi juga tersenyum sendiri. Pada akhirnya ketika menutup buku ini ada senyuman tipis di bibir saya. Entah sebuah kepuasan atau kegetiran. Paling tidak ada sebuah pembelajaran kecil setelah membaca buku ini. Bahwa kebahagiaan tidak berarti ada karena sesuatu yang luar biasa. Kebahagiaan bisa hadir karena sesuatu yang kecil dan sederhana. Satu lagi yang unik adalah puluhan puisi yang tersebar merata di buku ini. Salah satunya puisi merayu Awan berikut ini.

Wahai awan
Kalau bersedih
Jangan menangis
Janganlah turunkan hujan
Karena aku mau pulang
Untukmu awan
Kan kuterbangkan layang-layang….

(Senandung puisi ayah Sabari untuk awan)

Novel ini menjadi sangat bertutur mungkin karena sangat dekat dengan sang penulis yang sangat Belitong. Cerita tentang Belitong dan Ranah melayu inilah yang membuatnya unik karena berbeda dengan Novel Indonesia Modern saat ini. Apapun itu, saya akan menonton versi layar lebarnya jika nantinya akan diangkat menjadi sebuah film.

“Sebuah Novel yang bagus”

Enjoy Reading…

novel-ayah-andrea-hirata

Tinggalkan komentar