Galeri

Kota Tua Jakarta

Kota Tua Jakarta!

Dahulu dikenal dengan sebutan Batavia. Pada eranya adalah sebuah pusat pemerintahan untuk negeri Hindia Belanda. Kini era telah berganti. Hindia Belanda menjelma menjadi Negara Indonesia. Namun bangunan bangunan peninggalan masa kolonial belanda masih kokoh berdiri. Kantor Gubernur, Town hall, hingga kanal sungai besar yang mengingatkan kita akan kanal venesia di negeri pizza.

Cobalah bergerak menyusuri landskap demi landskap tempat ini. Pagi hari lebih baik. Saat tempat ini masih sepi dan jauh dari hiruk pikuk kemeriahan ibukota. Saat matari akan menyembul dari timur. Nuansa kemegahan masa lalu seakan menyeruak. Saat para penggiat olahraga bersiap untuk berlari, toko toko masih tertutup tirai, penjaja sewa sepeda bersiap menyambut pelintas kota, dan mungkin mereka pemburu pagi dengan kamera tergenggam erat di tangan atau terkalung di lehernya.

Pagi itu saya tidak mengamati jakarta. Atau mungkin Jakarta dari sisi yang berbeda. Sebut saja itu dengan Nuansa Batavia. Tidak dengan keriuhan, namun dengan kesejukan dan keanggunan yang ramah. Bunga bunga juga nampah indah. Seperti siap menyambut matari. Dan waktu nampak berputar. Tak ada keangkuhan ibukota. Hanya sebuah kota yang bersahaja.

Jakarta, Oktober 2018.

 

Galeri

Padang Kota Tua dalam Segelas Kopi

Saat mendengar kata Padang, pikiran saya hanya terlintas pada makanannya yang khas, Rendang! Tak sedikitpun terpikirkan tentang balutan sejarah yang terekam dalam Kota Tua. Mungkin karena tidak sepopuler seperti Kota Tua Semarang ataupun Jakarta. Atau memang saya yang memang kurang peduli akan cerita-cerita itu. Namun sore itu semua berubah ketika saya mulai menyusuri sisi lain di tepian Muaro Sungai Batang Arau.

Seusai makan siang, driver kami menanyakan tempat mana yang ingin kami kunjungi. Pekerjaan sudah tuntas, dan sore itu adalah sore terakhir sebelum esok kembali ke Kota Bandung. Kami semua tak tahu destinasi yang elok Di Padang. Ada yang ingin cari kopi, cari landmark Kota Padang, cari rendang, bahkan mencari jersey Semen Padang. Akhirnya Abang driver menyarankan untuk menjelajahi Kota Tua sembari mencari warung kopi yang buka. Dengan sedikit berdebat, kamipun akhirnya sepakat.

Padang pada mulanya adalah sebuah daerah perantauan orang minang seperti dari Solok dan Agam, yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Pagaruyung. Pusatnya berkembang di Muaro Sungai Batang Arau. Padang semakin berkembang saat VOC menjadikan kota ini sebagai kantor dagang di Sumatera. Saat masa kolonial Belanda, Padang dijadikan markas militer serta ibukota untuk wilayah Sumatera. Semua sejarah itu terangkum cukup apik dalam papan petunjuk informasi wisata di jalan Kota Tua.

Kota tua Padang, sama halnya dengan Kota Tua seperti di Jakarta dan Semarang, merupakan peninggalan kolonial Belanda. Bangunan bangunan tua dengan arsitektur art deco terlihat dominan di sepanjang jalan. Sebagian sudah direstorasi dengan baik, dipakai sebagai kantor, bank, bahkan café. Namun masih ada sebagian yang tak terurus dengan baik, terabaikan ditelan zaman. Setidaknya masih ada sisa sisa peninggalan sejarah yang bisa ditelusuri. Dan dari tepian Sungai Batang Arau, saya mulai melangkahkan kaki melihat Padang pada masa lampau.

Memasuki kawasan Kota Tua tepatnya di Jalan Batang Arau, saya mulai mencium aroma yang berbeda. Asimilasi budaya sangat kentara. Ada peninggalan bangunan belanda, pecinan, kauman yang seakan semakin menegaskan Padang sebagai kota untuk berdagang bagi pendatang. Di tepian sungai Batang Arau, kapal kapal nelayan dan kapal motor ramai bersandar. Sedikit terlukiskan suasana masa silam ketika kapal dagang berlabuh di Pelabuhan Muaro ini. Menikmati sore di jalan ini memang bukan sebuah ide yang buruk.

Bangunan bangunan tua Belanda di sepanjang jalan memang menjadi daya tarik utama. Di beberapa bangunan masih terdapat sisa sisa plakat yang menunjukkan identitas bangunan tersebut di masa lalu, seperti Societa Commisionera, P.N Aneka Niaga, atau Padangsche Spaarbank. Di ujung jalan Batang Arau di dekat Jembatan Siti Nurbaya, terdapat bangunan besar yang masih nampak kokoh. Setelah ditelusuri, bangunan tersebut adalah sebuah gudang yang dahulu merupakan sebuah Kantor Dagang Wehry and Co. Beberapa bangunan telah dipugar dan dipakai sebagai bank seperti bank mandiri.

DSCF8393

DSCF8418
Jalan Batang Arau. Jalan di tepian Sungai Batang Arau ini adalah kawasan utama Kota Tua Padang. Bangunan tua berderet sepanjang jalan ini, sebagian besar adalah bangunan peninggalan belanda.
DSCF8391
Bank Tabungan Sumatera Barat, dulunya merupakan Padangsche Spaarbank
DSCF8399
Muaro Sungai Batang Arau. Menjadi tempat labuhan kapal kapal nelayan dan kapal penumpang di Padang. Sejarah kota Tua Padang dimulai dari tempat ini.
DSCF8408
Salah satu bangunan tua belanda yang kini dipakai sebagai kantor bank mandiri
DSCF8420
Gedung yang dahulu dikenall sebagai Kantor Dagang Wehry & co. Sekarang dipakai sebagai Gudang. Meski sudah dimakan zaman, kokohnya banguan masih terlihat.

Semakin sore, Komplek kota tua Padang semakin ramai. Namun bagi saya perjalanan belum usai. Kami masih menikmati suasana sore itu. Kemudian perjalanan itu berujung pada sebuah kedai kopi yang namanya sesuai dengan apa yang sedang kami nikmati “Kota Tua”. Kedai kopi itu menempati bangunan kecil namun berumur yang menjadi satu dengan rumah dibelakangnya. Hanya saja ruangan depan disulap menjadi sebuah kedai kopi yang eksotik. Di halaman kedai tersusun beberapa meja dan kursi kecil untuk bersantai. Bagian dalam didekorasi dengan nuansa klasik termasuk meja dan kursinya. Hanya beberapa kursi di bar di depan barista yang nampak modern dengan kursi tinggi dan peralatan untuk menyeduh kopi. Di dinding belakang barista terpasang gambar Kota Tua Padang dan beberapa piringan hitam klasik. Di dinding lain dihiasi dengan foto-foto hitam putih tentang Padang di era 40an-50an. Entah darimana mereka mendapatkan itu. Foto – foto itu lebih jelas menggambarkan kota tua padang daripada yang saya temui di jalan Batang Arau. Kedai itu seolah olah bukan sekedar kedai saja tapi juga menjadi museum mini Kota Tua Padang.

DSCF8440
Salah satu sudut jalan di Kawasan Kota lama Padang
DSCF8441
Kedai Kopi Kota Tua. Sesuai namanya adalah museum mini kota tua.
DSCF8451
Hiasan dinding dengan nuansa retro. Foto lama dan koleksi piringan hitam
DSCF8459
Sejumlah Foto-foto lama tentang kota tua. Sebagain besar adalah foto-foto landmark Kota Tua Padang pada masa tersebut
DSCF8461
Salah satu foto lama Kota Tua Padang. Bangunan dalam foto adalah Jalan Batang Arau sekarang. Bangunan di sebelah kiri adalah Gedung Wehry & Co.
Salah satu sudut kedai kopi. Panorama Kota Tua Padang masa lampau. Dikemas bersama kamera vintage Fujica.

Saya memesan kopi hitam biasa yang barista tawarkan. Kopi dari gunung kerinci katanya. Karena Padang memang bukan penghasil kopi. Kopi di kedai ini salah satunya berasal dari Kebun Kopi di Kerinci. Saya tidak begitu pandai menilai kopi. Apalagi menghafal jenis jenis kopi. Susah! Asalkan tidak terlalu asam sudah cukup. Dan seperti saran seorang teman, saya menikmati kopi tanpa gula. Gula bisa merusak rasa asli kopi begitu katanya.

DSCF8477
Kedai Kopi dengan Gaya Vintage
DSCF8471
Barista sedang meracik kopi dari Kerinci

Segelas kopi hitam akhirnya tiba. Rasanya?? Pastinya pahit. Seperti yang saya bilang, saya tidak pandai menilai kopi. Ketika itu bisa membantu saya untuk tenang dan fokus maka itu sudah cukup. Apalagi suasananya juga tenang dan teduh. Mungkin karena saya tidak begitu suka suasana yang riuh.

Cerita dan kenangan Kota Tua Padang seakan ikut membaur di Kedai ini. Mungkin karena interiornya yang menarik. Atau suasananya? Entah. Kali ini bukan rendang yang akan mengingatkan saya akan Padang, melainkan segelas kopi. Segelas kopi yang saya seruput perlahan lahan, sembari menanti malam yang terlambat datang.

Padang, Maret 2018.

 

Galeri

Lovina & Lumba-Lumba

 

Lovina! Pantai di Utara Bali, tepatnya di Singaraja, Buleleng ini memang sedikit berbeda. Umumnya mereka yang ke Bali lebih mengenal Kuta, Sanur, atau mungkin di daerah Selatan seperti di Pantai Pandawa atau Uluwatu. Di Pantai Kuta atau Sanur mungkin terlihat mereka yang berselancar hingga paragliding. Tapi di Lovina menawarkan hal lain yang tak ada di Pantai Lainnya. Pembedanya adalah Si Lumba-Lumba.

Pagi – Pagi sebelum matahari muncul, para wisatawan akan berkumpul di tepi pantai. Sebagian dari mereka sudah menyewa perahu yang akan membawa ke kawanan lumba-lumba. Tarif umum 100000 rupiah per orang. Sebelum fajar benar benar datang, perahu kami sudah berangkat menuju ke tempat lumba-lumba berkumpul. Sebenarnya ini adalah sebuah perjudian. Jika beruntung, maka kami akan melihat kawanan lumba-lumba lewat. Jika tidak maka kami hanya bisa gigit jari.

Jarum jam hampir menuju ke angka tujuh, belum ada tanda tanda ada kawanan lumba-lumba. Tiba-tiba perahu yang saya tumpangi cepat bergerak ke sisi yang lain, diikuti oleh perahu perahu yang lain. Lumba-lumba mulai muncul! Mulanya cuma satu, tapi kemudian rombongan lain mulai terlihat, jumlahnya mungkin puluhan! Semua wisatawan nampak antusias. Kamera yang saya pegang mulai saya bidik kesana kemari mengikuti pergerakan lumba-lumba yang tiada henti. Jika kawanan lumba-lumba muncul ke kanan, maka perahu-perahu akan berlomba lomba bergerak ke kanan. Jika muncul di kiri, maka perahu akan segera berbalik arah mengejar lumba-lumba di sebelah kiri. Semuanya mungkin untuk menyenangkan para turis. Namun di satu titik tertentu, saya berpikir apakah lumba-lumba ini nyaman dengan kehadiran kami. Bagaimana jika mereka hanya menghindar? Atau terganggu? Atau bagaimana kalau mereka tertabrak perahu? Semuanya hanya mementingkan ego manusia.

Di balik itu semua ada wisatawan yang bahagia melihat lumba-lumba, ada nelayan yang mendapatkan penghasilan setiap hari dari mereka, ada kawasan yang bertumbuh ekonominya karena mereka. Ya mereka…Si Lumba-lumba. Lovina tanpa lumba-lumba akan menjadi hampa. Mungkin mereka harus berterima kasih pada Lumba-lumba.

Terima Kasih Lumba-lumba… Sebuah pengalaman berharga dan istimewa. Sebuah kehormatan bisa melihatmu lebih dekat dari apapun. Terima Kasih..

DSCF5593-2
Matahari terbit di Lovina mengawali hari kami untuk melihat lumba-lumba
DSCF5597-2
Perahu yang kami tempati adalah perahu kecil bercadik. Perlahan-lahan perahu ini membawa kami semakin menjauhi pantai menuju tengah lautan.
DSCF5599-2
Seringkali perahu kami berpapasan dengan rombongan lain. Tujuannya sama, melihat lumba-lumba. Rombongan di depan saya ini adalah rombongan studi wisata.
DSCF5600-2
Tidak hanya rombongan remaja yang berlibur. Sepasang kekasih yang mungkin sedang berlibur nampak sedang menikmati perjalanan ini.
DSCF5749-2
Atraksi yang kami nanti telah tiba. Segerombolan lumba – lumba menyeruak dari permukaan air laut seakan menyapa pengunjung yang menanti mereka.
DSCF5920-2
Bagi kami ini adalah atraksi. Entah bagi komuni lumba-lumba ini. Nampak sepasang lumba-lumba ini mengejar rombongan koloni di depan mereka.
Galeri

Dawn at Tebing Keraton

They call it Tebing Keraton, means Palace Cliff. This place actually was opened 2 years ago. Located in taman hutan juanda complex in the north city of Bandung. It became a massive hits in quick time. Many people come here to take some selfies or magical photo while standing on the big rocks with Tangkuban perahu as a background.

What do you think about Tebing Keraton at Dawn? I think it will be an amazing view with the sun rises from the east. It was middle of june when I came there to capture the landscape. You should go there before 5.30 when the sun not yet rises. Luckily Tebing Keraton officially open at 5 am. It should be fine to depart from Bandung at 4 or 4.30.

How to get there? From Bandung, you can go to the north via Dago street or cigending to Dago Pakar direction. Try to figure out way to Taman Hutan Djuanda. Tebing Keraton is not faraway from there. Easy mode, You can search it using google map. But if you depart before dawn, you may get trouble because its too dark and quiet. If you can find Taman Hutan Djuanda, thats means you one step closer to Tebing Keraton. The local people usually gathering around there, and you can ask them for detail. The road? It was good until Dago Pakar. After that you will face the small rocky road but its not too bad

The entrance fee is 12000IDR. The ticket actually Taman Hutan Rakyat Djuanda. So it is the same ticket to enter THR. The inside you will find small garden with nice track walking. Approximately 100 m from the gate you will arrive in the destination. Welcome to Tebing Keraton.

It was really dark when I got there. Still not a lot of people. The sun hasnt rises yet. A few minutes later, the orange rays come out, the dark disappear  a second by second. Then, I feel joy from nowhere. The fantastic view is already in front of me. Thanks God, it is so beautiful. You can see the pine forest as foreground, Lembang city in the middle, and Tangkuban Perahu volcano in the back. The clouds around there make it so majestic.

DSCF3414_stitchDSCF3430_stitchDSCF3499_stitch

Tebing keraton open daily from 5 am – 4 pm. I think the best time to visit is at dawn. I prove it by myself. So dont hesitate anymore. Prove it by yourself. This is amazing Bandung. Welcome to Tebing Keraton.!

DSCF3448

 

***