Gambar

Wonderful Morning At Puncak Panguk

How to start your perfect day? Try this one. You wake up early in the morning, grab your camera, travel a little far, and watching the shine coming out from nowhere. I know it is kind of difficult to wake up early but I swear it is very worth. If you live in Yogyakarta or having a holiday there, I suggest you to visit Puncak Panguk, near Mangunan Fruit Garden in Dlingo, Bantul (You can ask Mr. Google)

A few days ago, I had time when I visited My Grandma in Pundong, Bantul. Recently, I heard and read on article there was a new spot which is very good for watching sunrise. So I decided to go there in the next morning. At 4.30, I started to go there. It should take about 45 minutes driving (Pundong is not faraway from dlingo). The Road was good until Mangunan, after that you would pass some rocky steep road but still fine.

I arrived a little bit late (I took a wrong way and get lost),  the sun already come out. But the cloud has not gone. The area is half fulled by visitors. This spot became so famous thanks for Instagram even only one year after opening.

8

It was a nice spot for enjoying sunrise. Because it was surrounded by mountains and sometimes (If you lucky) covered with clouds and fog in the morning. The locals already clean the area and make it pretty by making a walking route also build some spots for taking pictures (but you need to pay more and queue to stand there).

4

 

 

6521

The place is very clean and neat (thank to the local people). The view is so amazing, wonderfull. I feel so blessed and also grateful. My camera always by myside take the pictures as many as i can get. I can’t hide my smile. It is just a good day. I am pretty sure that everybody will enjoy that place unless it is not raining or bad weather.

DSCF3552_stitch.jpg

Take your chance. Wake up early. Make up your day here. You wouldnt regret. It’s just wonderful.

Have a nice trip.

PS : Until I wrote this note, free entry for visitors. You only pay for parking.

***

Gambar

Volcano Journey #1. Tambora (Part 3)-Inside Caldera-END

Hari ketiga. Setelah hampir 2 hari perjalanan, akhirnya kami tiba di dasar kaldera sore sebelumnya dan bermalam di sana. Hari ketiga ini adalah saatnya untuk berekplorasi. Meninjau kondisi geologi dalam kaldera, melihat perubahan kubah lava, serta manifestasi vulkanik yang ada.

Apa yang ada di dasar kaldera..? Kaldera adalah sebuah kawah dengan dimensi mencapai lebih dari 2 km. Bisa dikatakan Tambora adalah pembentukan Kaldera yang paling terbaru sepanjang sejarah manusia. Dimensi kaldera mencapai 7 km diameter dengan kedalaman sekitar 1400 m. Di dalam kaldera tidak ada apa-apa sebenarnya. Gersang, panas, terkadang bau sulfur, penuh dengan bebatuan. Yang menjadi menarik adalah mengenai jejak atau sisa sisa letusan 1815. Tak ada yang lebih menarik dari sisa letusan 1815 di dalam kaldera selain kemunculan “anak tambora” yakni 2 gunungapi kecil yang disebut dengan Doro Api Toi dan Doro Api Bou.

Jpeg
Di Dalam Kaldera Tambora

Doro Api Toi dan Doro Api Bou, keduanya merupakan produk vulkanik terakhir G. Tambora. Doro Api Toi artinya gunungapi kecil, sedangkan Doro Api Bou berarti gunungapi baru.  Doro Api Toi berusia lebih tua yang terbentuk pada rentang tahun 1847 – 1913 akibat erupsi di dalam kaldera. Sedangkan si adik, Doro Api Bou baru muncul pada tahun 2011. Keduanya sebenarnya adalah kubah lava, yakni lava yang keluar yang kemudian membeku dan membentuk menyerupai kubah.

Jpeg

Jpeg
Doro Api Toi

Doro Api Toi dimensinya cukup luas sekitar 150 x 105 m . Secara umum tersusun oleh lava dengan warna hitam, hingga kemerahan. Sebagian besar teralterasi kuat akibat uap panas yang terus muncul dari bawah. Bersama sama dengan pak agus dan pak devy kami mendaki hingga bagian atasnya. Harus tetap hati hati pada suhu dan gas yang mungkin bisa berbahaya. Di bagian atas banyak sekali dijumpai lava dengan struktur kerak roti dan tahi sapi. Sudah terbentuk kawah kecil sekitar 40 m diameternya. Kami mengambil beberapa batu untuk sampel dan mengukur suhu permukaan. Yang agak berbahaya selain gas vulkanik adalah suhu batuannya. Saat mendaki sebagian besar batuannya sudah teralterasi dan menjadi lembek. Jika kurang berhati hati bisa saja terperosok karena lava yang sudah terubah menjadi lempung. Karena itu kami harus pandai memilah jalan untuk menapak.

IMG_3155

IMG_3148
Mendaki Doro Api Toi (Photo By Aloysius Narung)

Doro api bou berukuran lebih kecil. Susunan batuannya tidak jauh berbeda dari sang kakak. Asap solfatara masih bermunculan dari berbagai sisi. Tak perlu didaki karena tingginya yang masih sekitar 2 m. Sama halnya dengan Doro Api Bou, kami mengambil sampel batu dan mengukur suhu permukaannya.

Jpeg
Doro Api Bou
Jpeg
Batuan di Doro Api Bou

Di bagian sisi tepi dasar kaldera juga menyajikan fenomena menarik. Di dasar kaldera hanya ada 2 tempat dimana asap terus bermunculan. Di bagian agak ke tengah di mana Doro Api Bou dan Toi muncul serta di tepian dasar batas kaldera. Di Doro Api Toi dan Bou jelas asap tersebut merupakan manifestasi dari kubah lava yang menunjukkan adanya zona atau rekahan yang dapat menjadi jalan untuk magma atau hidrotermal bergerak. Sedangkan yang di tepian? Belum ada kajian yang pasti. Dari beberapa asumsi dan teori menyebutkan bahwa asap asap tersebut muncul karena daerah tersebut merupakan zona lemah atau patahan atau bagian yang dulunya roboh saat letusan 1815. Jadi dapat diasumsikan asap yang muncul disana berasal dari rekahan rekahan sisa letusan 1815.

IMG_3179

IMG_3184
Pengukuran Gas dan Suhu Solftara di Batas Kaldera (Photo by Aloysius Narung)

Tengah hari kami bersiap untuk menyudahi perjalanan ini. Mengejar waktu agar tidak terlampau malam sampai bibir kaldera. Butuh sehari semalam untuk bisa kembali ke pos gunungapi Tambora. Dengan sisa sisa tenaga dan perbekalan yang ada, kami akhirnya meninggalkan tempat yang mungkin sulit untuk kami kunjungi lagi. Gerimis tipis mengiringi gerak laju kami. Perjalanan pulang sama beratnya. Kami mesti menyusuri sungai dengan potensi batu batu besar longsor, harus panjat tebing lagi, rapling lagi, dan mungkin harus berhemat air dan logistik yang terus menipis. Di tempat rapling kami beristirahat sembari mengantre untuk naik ke atas. Dari kejauhan nampak pelangi melengkung dari dasar kaldera. Seolah seperti mengucapkan salam perpisahan bagi kami.

Jpeg

Saya hanya terpaku, menatap lubang besar itu. Terbayang betapa ganas letusannya waktu itu. Lalu membayangkan jika kejadian yang sama terjadi di era sekarang. Sangat mengerikan. Entah kapan, dengan ratusan gunungapi di seantero nusantara, Indonesia seakan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Semoga itu hanya ada di pikiran saya saja. Ya semoga saja.

Akhirnya kami bermalam lagi. Bukan di bibir kaldera, tapi sekitar 500 m di bawahnya. Malam yang menyergap memaksa kami memasang tenda dan terpal lagi. Kami makan dan minum apa yang masih tersisa. Suhu jauh lebih dingin, membuat saya memilih berbaring dekat bara api unggun dengan risiko kantong tidur saya berlubang.

Perjalanan memang berat, tapi setidaknya kami mendapatkan apa yang ingin kami dapat. Bersyukur karena tidak ada kejadian kejadian buruk yang menimpa kami. Mungkin hanya kekurangan air dan logistik, penat dan lecet, dan kulit yang gosong terpapar sinar matahari. Tapi kami tidak kekurangan apapun, cukup untuk perjalanan yang menguras fisik dan energi.

Dan kami bisa sedikit belajar tentang Tambora, meski masih banyak yang belum kami ketahui.

***

Terima Kasih :

Ir. Agus Budianto dan Dr Devy K. Syahbana

Slamet Budiharjo, Haryo Sentanu Murti, dan Aloysius Manarung

Abdul Haris dan Jaya Yuliana

Rhinjon, Megawati, M. Yamin, Saitun, Anton, Endiyan, M. Ali, Muslimin

Gambar

Volcano Journey #1. Tambora (Part 2) ; Menuju Dasar Kaldera

 

Day 2

Sinar mentari menyemburat jingga di timur. Hangatnya membuat saya tak kuasa untuk beranjak dari kantong tidur. Suhu masih cukup dingin. Kerudung jaket saya kenakan sepenuhnya untuk meredam tiupan angin. Semalam meski tak turun hujan, tapi angin bertiup lumayan kencang. Tenda kami sempat hampir terbawa angin. Beruntung para porter sigap segera membetulkan tenda. Selebihnya saya berlindung dibawah balutan jaket, terpal, dan apapun benda lain yang penting suhu tubuh tetap terjaga.

Beberapa porter sudah terbangun dan menyiapkan makanan dan minuman hangat. Yang lain masih ada yang terlelap ada juga yang sedang menata perlengkapan. Saya memilih untuk mendekati bibir kaldera, melihat apa yang semalam belum bisa saya lihat.

Di depan saya terbentang mangkok raksasa. Entah berapa jarak diameter pastinya. Yang jelas sangaat besaaar. Kaldera aktif pertama yang pernah saya lihat. Di bawah nampak air danau kawah berwarna hijau keabuan. Asap dari solfatara samar samar terlihat mulai bermunculan dari bawah. Bau belerang pekat sesekali menusuk hidung yang terkadang cukup mengganggu. Di lerengnya nampak batuan batuan tua G. Tambora berdiri kokoh. Beberapa terlihat lapisan batuan piroklastik berselingan dengan lava lava cadas. Tak lama kemudian teman-teman lain sudah bergabung menikmati pemandangan alam yang sangat luar biasa. Matahari terbit di atas Kaldera Tambora!

yohandi
Menikmati Pagi dari bibir Kaldera Tambora
IMG_1746
Batuan Gunungapi Tambora terlihat perselingan Lava dan batuan piroklastik

Ada hal menarik lain di sekitar bibir kaldera itu. Bunga Edelweiss. Bunga yang hanya tumbuh di pegunungan tinggi itu nampak menyembul di antara rerumputan. Jumlahnya memang tidak begitu banyak namun tetap saja menyejukkan mata. Kamera saya arahkan membidik bunga – bunga itu. Biarlah itu semua terekam dalam imagi cahaya daripada diambil dari tempatnya tumbuh. Karena disitulah mereka semua harusnya berada.

P_20141214_065604_DF
Bunga Edelweiss di Tambora

Pukul 7 pagi kami bersiap untuk menuruni lereng menuju dasar kaldera. Tenda dan logistik segera kami kemasi. Target yang kami tuju seperti nampak dekat dalam pandangan mata. Nyatanya butuh waktu seharian untuk mencapainya. Itupun plus tenaga ekstra melintasi derasnya hujan dan bebatuan yang seakan menunggu untuk jatuh dan longsor.

Satu per satu dari kamipun turun. Dengan perasaan sedikit cemas saya menuruni tebing dengan hati hati. Bang Jhon yang merintis jalur ini berada di paling depan, memastikan jalan yang kami tempuh benar-benar aman untuk dilewati. Jalur yang kami lintasi adalah bebatuan cadas yang kalau tidak berhati hati bisa fatal akibatnya. Salah sedikit saja bisa bisa nyawa taruhannya. Menuruni lereng sama beratnya dengan mendaki atau mungkin malah lebih. Karena saat turun kaki kita menahan beban tubuh yang lumayan berat ditambah dengan beban tas yang kita bawa. Butuh konsentrasi tinggi agar tubuh kita tidak terjatuh.

Sekitar 2 jam berikutnya kami sampai di bagian lembah lereng. Dasar kaldera seperti tidak kunjung mendekat. Masih terlihat jauh sama seperti yang terlihat dari atas. Setidaknya jalur kami sudah berubah dari yang tadinya curam menjadi lebih bersahabat. Meski tetap saja batuan cadas menjadi momok di sekitar kami. Namun diantara bebatuan cadas itu pulalah kami beristirahat. Melemaskan kaki kaki yang sedari kemarin bekerja tiada henti.

IMG_3058
Di tengah perjalanan menuju dasar kaldera. Jalur bebatuan cadas diantara padang ilalang     (Doc photo by : Devy Kamil Syahbana)
IMG_1749
Beristirahat sejenak bersama rekan perjalanan (Doc photo by : Devy Kamil Syahbana)
P_20141216_094139_PN
Kaldera Tambora dilihat dari lereng bagian dalam kaldera Tambora
Jpeg
Makan siang bersama diantara celah-celah bebatuan gunung Tambora

Perjalanan terus berlanjut. Jalur yang tadinya curam perlahan berubah menjadi lebih landai. Medan yang sebelumnya bebatuan cadas berubah benjadi padang ilalang. Cuaca yang awalnya cerah perlahan berubah mendung di tengah hari. Perjalanan harus terhenti ketika kami sampai di lokasi tebing yang harus dilalui dengan rapling. Tingginya mungkin sekitar 20 atau 30 m. Kami harus melaluinya satu per satu bergiliran yang membuat kami harus rela antri. Ada perasaan sedikit ngeri ketika melihat tebing yang harus saya lewati. Ini bukan pengalaman pertama rapling sebenarnya. Tapi mungkin itu sudah 7 tahun yang lalu ketika masih di bangku sekolah. Apalagi ini dilakukan benar benar di lapangan bukan latihan.

IMG_3211
Persiapan untuk rapling menuruni tebing (Doc photo by : Aloysius Narung)

Akhirnya giliran saya tiba. Hujan yang mulanya gerimis perlahan mulai deras. Wajah yang semula ceria berubah menjadi sedikit pucat. Dengan baju yang mulai basah saya segera memasang alat rapling dibantu oleh Mega. Bang Jhon dibawah berjaga jaga agar situasi tetap aman terkendali. Dengan hitungan detik tubuh ini saya paksakan turun sedikit demi sedikit. Agak sedikit goyah di awal, tapi lama kelamaan saya bisa menyesuaikan diri meskipun agak kaku. Dan dengan bantuan porter di bawah saya bisa melewati tebing itu dengan aman. Hujan yang semakin deras memaksa saya berteduh di salah satu cerukan tebing sembari mengenakan jas hujan. Pak Devy yang turun berikutnya sempat kaget melihat saya meringkuk kedinginan di dekat cerak itu. Mungkin takut kalau terjadi apa-apa. Saya cuma bisa nyengir, meski badan sangat dingin.

IMG_9911
Salah satu tantangan saat perjalanan adalah menuruni tebing ini menggunakan tali

Semua personel akhirnya bisa melewati tebing dengan rapling. Hujan masih belum berhenti. Saya mendahului yang lain bersama beberapa porter. Hari sudah sangat sore, dan perjalanan entah sampai kapan akan berhenti. Tubuh sudah mulai kelelahan. Wajah wajah kusut sudah sangat terlihat. Beberapa porter sudah mulai kepayahan. Dengan tenaga yang tersisa kami melanjutkan perjalanan.

Kami akhirnya tiba di jalur sungai yang mengalir ke arah kaldera. Jalur inilah jalan yang kami gunakan untuk sampai ke tujuan kami. Meski masih terbilang berbahaya, jalur ini merupakan opsi yang terbaik daripada yang lain dan yang masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Mengapa berbahaya? Karena di beberapa bagian hulu masih teronggok batu batu besar seukuran rumah yang sewaktu waktu bisa menggelinding kapanpun dia mau. Apalagi kondisi waktu itu hujan, bisa dibayangkan betapa was was waktu itu bila sesuatu yang buruk terjadi. Beruntung hujan mulai berhenti, dan kami bisa berjalan lebih leluasa meski tetap waspada. Saya terus berjalan mencari tempat berpijak yang nyaman. Maklum jalur yang saya lewati adalah bebatuan lepas. Beberapa kali saya sempat terjatuh karena batu yang saya pijak tidak stabil. Sesekali saya menengok ke belakang, takut kalau tiba tiba ada batu besar yang meluncur. Kemiringan jalur sungai itu mungkin sekitar 40 – 50 , cukup terjal. Dan yang saya khawatirkan terjadi! Beberapa batu seukuran buah kelapa mulai menggelinding ke bawah. Kami yang di belakang berteriak memberi peringatan pada rombongan di depan. Untungnya batu yang turun tidak mengarah ke rombongan. Beberapa porter yang berada di depan sudah menepi ke sisi tebing, mencari lokasi yang aman. Kami menunggu sejenak memastikan tidak ada longsor lagi. Dan perlahan tapi pasti jalur sungai inipun bisa kami lewati. Sesekali batu batu kecil jatuh dan longsor. Sedangkan batu batu besar yang kami khawatirkan longsor masih teronggok kokoh di atas.

IMG_1797
Jalur sungai dimana kami berjalan menyusurinya untuk mencapai dasar. Nampak batu batu besar di bagian atas (hulu) yang seakan bersiap untuk jatuh dan longsor (Doc photo by : Devy Kamil Syahbana)

Dari kejauhan dasar kaldera sudah jelas terlihat. Beberapa porter sudah terlihat sampai di lokasi dan melambaikan tangan kepada kami. Bau sulfur sudah sangat kentara. Beberapa asap fumarol dan solfatara muncul di batas kaldera dan tebing. Di batas itulah mungkin zona lemah yang menjadi celah untuk keluar gas vulkanik yang mungkin membentuk fumarol dan solfatara.

IMG_1799
Asap solfatara terlihat jelas di tepi dasar kaldera (Doc photo by : Devy Kamil Syahbana)
IMG_3074
Diantara tumpukan bongkah batuan (Doc photo by : Aloysius Narung)

Dengan sisa-sisa tenaga dan badan yang sangat kepayahan, akhirnya saya tiba juga di lantai kaldera. Sejauh mata memandang adalah batu-batu vulkanik atau lava dengan batas tebing kaldera. Mungkin terlihat dekat batas kaldera di ujung sebelah. Tapi mungkin saya bisa menghabiskan waktu berjam jam untuk sampai kesana. Di bagian agak ke tengah terlihat 2 anak Tambora, peninggalan terakhir letusan 1815. Kami menyebutnya dengan Doro Api Toi untuk yang besar sedangkan yang lebih muda dan berukuran kecil adalah Doro Api Bou. Dua gunungapi kecil inilah yang akan kami susuri besok.

Satu persatu personel mulai tiba menyusul. Wajah yang lelah dengan pakaian basah sudah tak terelakkan lagi. Tapi ada senyum kecil yang tetap nampak. Senyum bahwa kami telah sampai di tujuan, meski misi belumlah usai. Ada rasa takut bercampur kagum beradu dengan sedikit rasa puas. Rasa lelah seperti terbayar lunas dengan apa yang kami lihat dan rasakan. Dengan tenaga yang tersisa kami mendirikan kemah di tengah Kaldera.

Malamnya kami berkumpul di dekat bara api unggun. Saling berbagi cerita entah apa beraromakan sulfur dengan payung bintang angkasa. Suhu terasa lebih hangat di dalam kaldera. Berbanding terbalik dengan malam sebelumnya yang dingin bercampur angin. Malam yang semakin larut bersama bara api yang mulai padam, satu persatu dari kami tertidur. Di dekat bara api saya mencoba terlelap. Dalam hati saya bergumam “inikah rasanya tertidur beratap bintang-bintang”.

(Bersambung….)

 

Gambar

Volcano Journey #1. Tambora (Part 1)

Introduction

Tambora terletak di Pulau Sumbawa tepatnya di Kab. Dompu, Nusa Tenggara Barat. Sejarah mencatat G. Tambora sebagai Gunung dengan letusan terbesar sepanjang sejarah manusia. Akibat erupsinya membuat tahun-tahun tanpa musim panas di Eropa, perubahan musim, juga ribuan nyawa melayang di Sumbawa dan sekitarnya. 200 tahun sudah berlalu sejak peristiwa itu. Saat ini yang tersisa adalah kaldera Tambora dengan diameter mencapai 7 km. Tulisan ini menceritakan perjalanan kami untuk mencapai dasar kaldera Tambora.

Perjalanan ini adalah dokumentasi tahun 2014. Sebuah proyek dokumentasi 100 tahun Gunung Tambora meletus. Sudah cukup lama. Namun tak ada salahnya mengingat kembali waktu yang akan selalu dikenang. Dan bulan April mungkin adalah waktu yang tepat untuk mengingat kembali. 10 April 1815, adalah hari katastropik itu tejadi. 102 tahun telah berlalu. Akankah kejadian sama akan terulang kembali? Tak ada yang tahu pasti.

Day 1

Perjalanan itu dimulai di bulan Desember 2014, saat hujan turun susah untuk diprediksi. Cuaca di Dompu kadang bisa panas terik, bisa juga hujan deras atau rintik-rintik. Beruntung pagi itu cuaca cerah. Bekal perlengkapan untuk mendaki Tambora dan turun hingga dasar Kaldera sudah siap. Berharap saja hujan tidak menghambat laju perjalanan kami.

Saya merapikan isi tas carrier saya, mengecek apakah ada yang terlewat atau tidak. Sementara itu, suasana di depan Pos Pengamatan G. Tambora sudah ramai. Para porter sudah tiba bersama 2 mobil hardtop yang akan kami tumpangi.

Sebelum lanjut lebih jauh, ada baiknya saya memperkenalkan personel-personel yang turut serta dalam ekspedisi ini. Yang pertama adalah Agus Budianto, kepala tim ekspedisi. Paling senior dan berpengalaman. Kami memanggilnya dengan nama Pak Bud. Sebelumnya beliau juga pernah turun ke dasar Kaldera pada Tahun 1996. Yang kedua adalah Devy Kamil Syahbana. Volcanologist muda, baru saja menyelesaikan Disertasinya dari Belgia. Sebagai salah satu yang paling bertanggung jawab dengan gunungapi di daerah timur Indonesia, membuat Pria dengan satu anak ini turut serta dalam ekspedisi. Yang ketiga saya sendiri. Paling junior dibandingkan 2 orang di atas, tapi mungkin yang paling antusias. Ada pula 2 orang pengamat gunungapi yang ikut. Mereka adalah Abdul Haris dan Jaya Yuliana.

Selain dari Vulkanologi, personel yang ikut adalah Tim dari Studio Audio Visual (SAV) Puskat Yogyakarta. Mereka ini adalah yang bertanggung jawab dalam pengambilan gambar, foto, pengeditan, hingga penyelesaian film. Mereka berjumlah 3 orang. Yang pertama adalah Haryo Sentanu Mukti, script writer dan director. Yang kedua adalah Slamet Budiharjo, biasa dipanggil mas Budi. Biasanya dia selalu pegang kamera video dan pengontrol drone. Yang terakhir adalah Aloysius Narung, asisten kamera. Tukang jepret selama di lapangan. Pertama kali bertemu dengan tim Puskat sekitar 2 hari sebelum keberangkatan, tepatnya di kantor kami di Bandung. Jaket kulit ditambah dengan celana jeans plus rambut gondrong adalah kesan pertama yang saya tangkap waktu itu. Mereka lebih mirip anggota preman pensiun daripada pembuat film dokumenter. Tetapi ternyata mereka adalah orang-orang yang menyenangkan saat bekerja di lapangan.

Porter! Jangan pernah kesampingkan peran orang-orang ini. Tanpa bantuan porter, entah kami dapat sampai ke tujuan dengan selamat atau tidak. Porter kami berjumlah total 7 orang yang dikomandani oleh Bang Jhon. Bang Jhon jugalah yang merintis jalur penurunan Kaldera dari arah selatan beberapa tahun yang lalu. Selain porter, kami juga menggunakan jasa teknisi rapling. Dan yang cukup mencengangkan adalah dia seorang perempuan dan belum genap berumur 20 tahun. Namanya Mega, dia seorang atlet panjat tebing di NTB. Meskipun badannya kecil dan seorang perempuan, tapi untuk urusan panjat tebing dia jauh lebih jago daripada laki-laki yang ikut di tim ini.

Pukul 9 pagi, Semua personil berkumpul di halaman depan POS Pengamatan Gunungapi Tambora. Semua perlengkapan dan logistik sudah diangkut semua ke mobil hardtop. Kami semua berkumpul untuk persiapan terakhir sebelum berangkat, berdoa! Tak ada suara. Hanya sekitar 30 detik kami menundukkan kepala dan hening. Berharap agar misi kami berjalan dengan lancar tanpa hambatan berarti.

Akhirnya perjalanan dimulai. Mobil hardtop melaju mulus menuju Dorocangah, sebelum nanti berbelok ke arah Tambora. Dari lapangan Dorocanga, jalan berubah yang tadinya beraspal menjadi jalan bebatuan melintasi hutan dan savanna. Sesekali nampak sekawanan sapi dan kuda di savanna. Satwa satwa tersebut melebur bersama hijaunya pepohonan disekitarnya. Mungkin karena hujan masih sering turun, savanna yang biasanya kering kerontang berubah menjadi hijau segar menyejukkan mata.

Diantara padang dan pepohonan terdapat sebaran bebatuan yang besar kemungkinan adalah hasil erupsi 1815. Warnanya cenderung hitam gelap dan berongga. Ukurannya bervariasi mulai dari kerikil tajam hingga bongkah. Dan meski ukurannya relatif besar namun terasa sangat ringan. Kami menyebutnya dengan pumis atau batuapung, sebutan untuk batuan vulkanik dengan komposisi gelas. Bisa dibayangkan betapa besar letusan tahun 1815 jika batu sebesar buah kelapa bisa dilontarkan dengan jarak hampir 10 km. Belum lagi material abu yang sangat pekat dan tersebar global hingga Eropa.

Sekitar satu jam perjalanan, mobil berhenti di areal padang. Elevasi sudah mencapai 600 mpdl. Dari posisi ini bisa diamati pemandangan ke arah selatan. Doro Canga dan savannanya juga teluk Saleh teramati dengan jelas disini. Cuaca masih cerah berawan. Perjalanan tidak ada masalah. Mungkin hanya pegal karena harus duduk dan tergoncang-goncang selama di mobil hardtop.

IMG_1387
Dorocanga dengan  P. Moyo di Kejauhan

Untuk mencapai bibir kaldera setidaknya kami harus melewati 3 pos. Posnya hanya berupa bangunan kecil seperti halnya pos-pos di gunung lain. Pos 1 dan 2 berada di area padang belantara. Sementara Pos 3 adalah titik terakhir yang bisa dicapai oleh jip hardtop. Dari Pos 3 perjalanan dilanjutkan berjalan kaki menuju bibir kaldera. Target kami adalah mencapai rim kaldera sebelum hari gelap. 4 – 5 jam adalah waktu normal mencapai pos 3. Sedangkan dari pos 3 sampai rim kaldera sekitar 2 jam.

Pos 1 kami lewatkan demi memangkas waktu. Dari sini perjalanan menjadi semakin berat. Beberapa kali kami harus turun agar mobil bisa melaju lebih aman tanpa beban. Mulai dari yang terlalu curam hingga memperbaiki jalan yang berlumpur dan longsor. Bulan Desember memang musim hujan. Tak pelak, jalanan menjadi berlumpur dan rawan selip. Intinya kami harus beroffroad ria. Mobil sering stuck dan harus didorong beramai-ramai. Dan ini membuat waktu tempuh kami bertambah. Dari yang harusnya 4 atau 5 jam menjadi 8 jam. Cuaca juga mulai gelap. Hujan akhirnya turun cukup deras namun tak begitu lama. Langit biru kembali terlihat dan cuaca menjadi bersahabat.

Mobil sempat berhenti sebentar di lokasi instalasi seismik Tambora, hanya beberapa kilometer sebelum Pos 3. Pak Haris dan Jaya mengecek alat di sana. Itu adalah salah satu rutinitas para Pengamat Gunungapi guna memastikan alat monitoring bekerja dengan baik. Biasanya alat alat seperti ini tak lepas dari tangan tangan usil yang tak bertanggung jawab. Mungkin karena lokasinya yang jauh dari peradaban membuat alat ini masih aman. Hanya ancaman dari satwa liar yang kadang bisa jadi masalah. Dari lokasi ini Lereng terjal Tambora sudah terlihat meski bibir kaldera masih tertutup awan. Kontrasnya biru langit, hijaunya rumput dan pepohonan, cadasnya bebatuan, bersama dengan balutan awan membuat panorama tersendiri yang menyejukkan hati.Sekitar pukul 5 kami sampai di pos 3. Rehat sebentar sambil menyantap perbekalan. Mempersiapkan energi untuk treking sampai di rim kaldera. Perlengkapan dicek kembali agar tak ada yang tertinggal terutama air dan logistik. Matahari sudah mulai menyeruput di barat. Artinya kami harus bergegas agar tidak terjebak dalam gelap. Dan Pendakian menuju bibir Kaldera pun dimulai.

Pendakian menuju bibir kaldera sejujurnya tidak begitu berat. Jalan setapak sudah tersedia, artinya sudah banyak orang yang sering melintasi jalur ini. Hanya ada sedikit pepohonan di sekitar kami. Selebihnya adalah semak, rumput, hingga alang-alang. Lereng cukup terjal sekitar 30 – 50 dengan bebatuan cadas menyeruak diantara rerumputan. Para porter memanggul beban logistik kami terutama air mineral. Tak ada banyak cakap diantara mereka. Sesekali mereka meletakkan barang bawaan sejenak, rehat, dan dalam hitungan detik berikutnya kaki mereka sudah kembali melangkah. Rombongan secara natural juga terpisah menjadi 3 kelompok yaitu bagian depan, tengah, dan kelompok belakang. Sebagian porter berada di bagian depan membawa sebagian alat dan tenda untuk mencari lokasi camp. Tim Survey kebanyakan berada di kelompok tengah. Di bagian belakang ada tim porter terakhir, dan beberapa dari kami berjalan beriringan sambil berjaga jaga satu sama lain.

Tak berapa lama sore berubah menjadi malam. Hanya ada gelap pekat di sekitar kami. Lampu senter berubah menjadi senjata dan tumpuan bagi kami untuk berjalan. Teriakan Hoooeeey… menjadi seruan kami untuk mengingatkan satu sama lain agar tidak tertinggal dan tersesat. Setelah cukup lama berjalan, Pak Haris yang berada di depan mengajak kami untuk duduk rehat sejenak. Ada sebuah batu besar di dekat Pak Haris berdiri. Sambil menghela nafas, tangan Pak Haris menunjuk batu tersebut dan mengatakan pada kami bahwa batu ini adalah saksi bisu dimana Alm Bapak Widjajono Widagdo dalam kondisi kritis dan meninggal saat mendaki G. Tambora pada tahun 2012. Beliau adalah seorang ahli perminyakan dari ITB yang sedang menjabat sebagai wakil Menteri ESDM saat itu. Pak Haris lantas mengajak kami berdoa bersama-sama. Senter kami padamkan dan kami semua mengheningkan cipta sejenak. Beberapa dari kami melantunkan lafalan Al-Fatihah. Saya dalam hati berdoa semoga perjalanan kami diberikan keselamatan hingga saat kami pulang dari tempat ini.

Tak berapa lama kemudian kami sudah mencapai bibir kaldera. Hanya ada gelap kosong di depan kami. Hanya ada sedikit bintang malam itu. Mungkin karena sedikit mendung. Kaldera Tambora tak bisa saya amati. Kami harus rela sabar menunggu pagi untuk bisa melihat betapa besarnya Kaldera Tambora ini. Dari kejauhan di sebelah kiri dari saya berdiri, teman teman porter memberikan kode melalui nyala senter. Kode dimana tempat itu adalah lokasi camp kami untuk malam ini. Saya melangkahkan kaki menuju kesana. Bersiap untuk esok hari. Perjalanan kami belum usai, perjalanan masihlah panjang…

(Bersambung…)